Terjadi 347 Kasus Diskriminasi Perempuan di Bengkulu

TINDAK kekerasan atau perempuan di Provinsi Bengkulu mulai mengkhawatirkan dan butuh perhatian berbagai pihak. Sebab berdasarkan data Komnas Perempuan RI, pada tahun 2012, telah terjadi 347 kasus KtP (Kekerasan Terhadap Perempuan) di daerah ini.

“Dibanding daerah lain, Bengkulu memang masih relatif kecil, tapi jumlah itu sudah sangat mengkhawatirkan. Kasus KtP tertinggi masih di DKI Jakarta, disusul Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Lampung dan daerah lainnya,” ujar Komisioner Komnas Perempuan RI, Ninik Rahayu, ketika memberikan kuliah umum dalam rangka memeriahkan dies natalis ke 31 Unib, Jumat (12/4).

Dijelaskan Ninik, secara nasional jumlah KtP pada 2012 adalah 216.156 kasus. Jumlah tersebut menjadi hampir dua kali lipat dari angka tahun sebelumnya, dengan persentasi peningkatan 181 %.

“Ke 216.156 KtP tersebut adalah kasus yang dilaporkan dan ditangani oleh lembaga-lembaga mitra Lembaga Pengadaan Pelayanan. Itu artinya, kemungkinan masih banyak lagi kasus KtP di Indonesia namun tidak dilaporkan dan tidak terdata oleh lembaga resmi,” ujarnya.

Pada tahun 2012 kata Ninik, Komnas Perempuan telah memiliki catatan penting terhadap KtP. Catatan dimaksud, antara lain bahwa kekerasan seksual seperti pemerkosaan gang rape masih menduduki peringkat pertama, peringkat berikutnya KtP disebabkan kejahatan perkawinan oleh pejabat publik, pekerja migran, KtP di lembaga pendidikan, Intoleransi beragama dan penyerangan terhadap kebebasan berekspresi, KtP yang dilakukan pejabat publik dan tokoh publik yang dalam hal ini termasuk pernyataan pejabat yang mendiskriminasikan perempuan, dan lain sebagainya.

Kemudian Komnas Perempuan mencatat, terkait diskriminasi perempuan,  telah terjadi kemunduran hukum pada 2012, yaitu seperti UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD, dan DPD, UU No. 18 Tahun 2012 Pemenuhan hak perempuan Tentang Pangan, UU No. 16 tahun 2012 Tentang Industri Pertahanan, UU No. 7 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, serta ada 282 kebijakan di daerah yang diskriminatif terhadap perempuan atas nama moralitas dan agama.

Ninik Rahayu juga mengungkapkan, dalam kebijakan nasional juga telah terjadi diskriminasi perempuan, seperti pada UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang masih mengakomodir perkawinan usia anak, pembakuan peran dalam rumah tangga (Kepala Keluarga Laki-laki) yang berimplikasi pada kebijakan lain seperti upah, akses terhadap hak dan lain-lain, serta tidak ada sanksi bagi pemaksaan perkawinan. Kemudian, UU Nomor 44 tentang Pornografi, terjadi multitafsir, yang cenderung mengarah pada kriminalisasi seksualitas dan tubuh perempuan.

Terkait kebijakan diskriminatif, Komnas Perempuan merekomendasikan pemerintah pusat dan daerah ; Meningkatkan sosialisasi tentang kebijakan diskriminatif dan pentingnya perlindungan kelompok minoritas; Pelatihan tentang Hak Konstitusional Warga Negara APN dan APH; Membentuk dan mengembangkan kelompok reformis lokal; Optimalisasi pengintegrasian Modul HAM dan Gender, Modul Pemenuhan Hak-hak Konstitusional Warga Negara dan Pedoman dan Modul Parameter Gender dalam pendidikan dan pelatihan APN dan APH; Revisi Kebijakan diskriminatif (UU Perkawinan dll).

Langkah dan upaya pencegahan KtP kata Ninik, yaitu dengan Pendidikan HAM dan Gender di PT bagi semua Fakultas; Pengembangan dan Penguatan analisis Sosial dan GBV dalam Penanganan kasus KtP di LBH/LKBH Fakultas Hukum; Pengembangan dan Penguatan Mahasiswa Magang di Lembaga-Lembaga Pengada Layanan; Pengembangan dan Penguatan Mahasiswa Fakultas Hukum, Fisip melakukan studi akhir (Skripsi, Thesis) tentang Kebijakan dan KtP; Pengembangan dan Penguatan Civitas Akademika Kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. “Upaya-upaya itu akan terus kita galakkan, termasuk di Universitas Bengkulu,” tukas Ninik Rahayu.[hms1]