Rektor : All Out, Stop Kekerasan di Kampus !

SELAIN pelantikan terhadap 985 wisudawan, Rapat Paripurna Terbuka Senat Universitas Bengkulu dalam rangka Wisuda Periode ke-68 di Gedung Serba Guna, 18 Desember 2012, juga mendengarkan pidato Rektor Unib Prof. Ir. H. Zainal Muktamar, M.Sc, Ph.D dan sambutan Gubernur Bengkulu H. Junaidi Hamsyah.

Pidato Rektor pada wisuda kali ini diberi judul “Optimalisasi Pengembangan Budaya Akademik Mahasiswa : Pencegahan Potensi Kekerasan di Kampus Universitas Bengkulu.” Kata Rektor, Deklarasi Anti Kekerasan di Lingkungan Kampus diminta oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI untuk dibacakan pada upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 2012 yang lalu. Tentu muncul pertanyaan dari masyarakat, terutama masyarakat kampus kenapa deklarasi tersebut harus dibacakan.

Jawabannya, “Kekerasan di kampus yang sampai merenggut nyawa sudah tidak dapat dianggap lagi sebagai kejadian biasa, tetapi sudah kejadian yang luar biasa dan untuk mengatasinya perlu juga dengan usaha yang luar biasa,” ujar Rektor dalam pidatonya.

Lanjut Rektor, sebagai lembaga yang mengajarkan ilmu pengetahuan, kampus adalah wadah yang sarat dengan nilai-nilai ilmiah, kejujuran, moralitas, objektivitas, rasionalitas, dan kemanusiaan. Penghuni kampus seharusnya mencerminkan pribadi-pribadi yang mampi mengenali persoalan kehidupan secara obyektif, menganalisanya secara ilmiah, dan mencari pemecahan yang rasional, bukan bertindak anarkis.

Pengulangan kerusuhan di dunia kampus memaksa kita untuk melakukan refleksi, sesungguhnya apa yang salah dalam dunia pendidikan kita ? Kenapa para mahasiswa tidak bisa bersikap dewasa dalam menyelesaikan persoalannya padahal setiap hari mereka bersentuhan dengan nilai-nilai ilmiah ?

Kekerasan merupakan instink purba manusia yang terus terjaga hingga kini. Oleh sebab itu, pemberian sanksi berupa keputusan Rektor memecat mahasiswa hanyalah merupakan solusi praktis berdimensi waktu jangka pendek yang tidak cukup efektif mengakhiri kultur kekerasan di kampus.

Yang diperlukan sesungguhnya adalah kajian komprehensif atas segala hal yang dapat memicu tindakan kekerasan di kampus. Pimpinan universitas perlu mengkaji sebab-sebab yang dapat melahirkan tindak kekerasan tersebut. Pertama, pentingnya melakukan kajian terhadap problem hidup ataupun akademik yang melilit mahasiswa, terutama aspek sosio-ekonomi mahasiswa perlu mendapat perhatian.

Kedua, perlunya evaluasi sistem dan pola pendidikan yang selama ini berlaku di kampus. Segala macam praktik kekerasan, baik fisik atau psikis, perlu segera diakhiri karena praktik pendidikan seperti itu bisa menimbulkan luka psikologis yang di kemudian hari mewujud dalam bentuk aksi kekerasan.

“Evaluasi komprehensif atas sebab musabab terulangnya kekerasan di kampus mutlak diperlukan agar pimpinan kampus tidak sekedar menjadi “pemadam kebakaran” dalam setiap tindak kekerasan yang terjadi. Dan yang lebih penting dari itu, upaya itu diharapkan dapat memutus mata rantai kekerasan yang seolah sudah menjadi budaya di kampus.

Masa-masa menjadi mahasiswa adalah masa mencari jati diri. Oleh sebab itu “wadah” pencarian jati diri para mahasiswa harus disediakan oleh institusi pendidikan. Kampus harus bisa mencari solusi yang bisa dilaksanakan oleh para mahasiswa, misalnya membuka organisasi minat dan bakat sebanyak-banyaknya.

Jangan pernah membiarkan tawuran sebagai salah satu kenangan nakal para mahasiswa. Karena jika terjadi pembiaran, maka perselisihan yang menahun atau bahkan bertahan puluhan tahun itu terwariskan ke generasi selanjutnya dengan pawarisan sense of identity. Hal ini yang juga harus diperhatikan oleh pihak universitas.

Cegah dan stop kekerasan di kampus. Kita semua perlu melakukan tindakan. Tentu aksi yang dilakukan tidak akan berbuah begitu saja, diperlukan waktu yang lama, konsistensi serta kemauan untuk menyikapi. Bukan dengan cara-cara yang responsif tetap harus proaktif. Kita semua, sivitas akademika, pimpinan dan karyawan punya kemampuan untuk mempredikasi tindakan. Sebelum terjadi, maka mestinya sudah dilakukan terapi dan pencegahan.

Lanjut Rektor, terdapat tiga pilihan dalam menghadapi masalah kekerasan yang terdapat di berbagai kampus saat ini. Pertama, difasilitasi dan perbenturan akan semakin besar dengan korban yang semakin besar pula. Kedua, dianggap sebagai kejadian biasa saja, biarkan saja berkembang. Ketiga, distop (dihentikan) dengan secepatnya. Oleh sebab itu, pilihan ketiga mutlak harus dilaksanakan.

Kekerasan di lingkungan kampus tidak dapat dibiarkan dan dibenarkan secara terus-menerus. Menyelamatkan satu nyawa, sama dengan menyelamatkan semua. Oleh sebab itu, “Kita harus stof dengan semua cara, all out, agar kekerasan di kampus tidak terjadi lagi,” tegas Rektor.

Seluruh sivitas akademik, pimpinan, dan karyawan harus selalu memastikan tidak adanya tindak tanduk di kampus yang dapat mengarah pada tindakan tawuran dan kekerasan sembari terus menumbuhkan dan menyemaikan nilai-nilai dan tradisi budaya akademik. Kuantitas dan kualitas kegiatan intra kurikuler dan ekstra kurikuler harus terus menerus dikembangkan. Seluruh proses akademik harus disinergikan dengan pendidikan karakter dan penanaman nilai-nilai luhur Pancasila, tukas Prof. Zainal.

Sementara itu, H. Junaidi Hamsyah yang sehari lalu (17 Desember 2012, red) dilantik sebagai Gubernur Bengkulu ke 10, dalam sambutannya mengatakan, dirinya sangat bangga dengan Unib karena telah menghasilkan banyak sumberdaya manusia yang handal. Unib memiliki peran yang sangat stratgis dalam kemajuan pembangunan daerah khususnya di bidang pendidikan. “Saya bangga bukan karena Saya adalah salah satu lulusan Unib, tapi karena Unib telah memberikan andil sangat besar dalam memajukan Provinsi Bengkulu,” ujarnya.

Junaidi mengucapkan selamat kepada para wisudawan Unib yang diwisuda seraya berpesan agar bekal ilmu dan pengetahuan yang didapat di bangku kuliah selama ini dapat diimplementasikan sebaik-baiknya dalam kehidupan bermasyarakat. “Jadilah sarjana-sarjana yang produktif, mampu berkarya dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, daerah, bangsa dan negara,” tukas Junaidi. [hms1]